Lika-liku Bahasa Indonesia di Mata Tokoh Masyarakat

Jagat Bahasa Nasional: Pandangan Tokoh tentang Bahasa IndonesiaJagat Bahasa Nasional: Pandangan Tokoh tentang Bahasa Indonesia by P. Hasudungan Sirait
My rating: 2 of 5 stars

“Profesor doktor itu, doktor, S3, es teler…”. Kalimat itu dilontarkan seorang juru bicara sebuah partai politik saat diwawancara di sebuah stasiun televisi. Kalimat yang saya pikir tidak pantas diucapkan seorang birokrat yang tidak hanya duduk sebagai petinggi partai, tapi juga wakil rakyat.

Bukan sekali ini orang tersebut melontarkan kalimat yang tidak pantas dilontarkan di hadapan publik. Beberapa waktu lalu dia bahkan sempat mendapat kritik keras karena mengeluarkan kosa kata yang mewakili penghuni kebun binatang di sebuah sidang di parlemen.

Orang yang saya ceritakan di sini menggambarkan miskinnya kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan pejabat, yang notabene cerminan kita, rakyat negeri ini. Keluhan ini dilontarkan oleh hampir seluruh tokoh yang ditulis dalam buku ini.

Jagat Bahasa Nasional berisi pandangan 21 tokoh tentang bahasa Indonesia. Ada empat pokok persoalan yang dilontarkan dalam buku ini kepada mereka, yakni pandangan mereka tentang bahasa Indonesia, sistem pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah, pembentukan bahasa oleh media dan birokrat, dan posisi bahasa Indonesia pada level internasional.

Jangan berharap ke 21 tokoh ini menuliskan sendiri pandangan mereka tentang persoalan yang dilontarkan itu. Para tokoh ini diwawancarai oleh beberapa wartawan terkemuka, seperti Salomo Simanungkalit, Satrio Arismunandar, Ignatius Haryanto, dan Willy Pramudya, yang kemudian menuangkannya ke dalam esai.

Nama-nama yang diwawancara berasal dari kalangan yang beragam, lintas profesi dan lintas generasi. Sebut saja Goenawan Muhammad, Pramoedya Ananta Toer, Aa Gym, dan Pradjoto. Yang terakhir disebut adalah pengamat hukum perbankan yang di tahun 2003 mendapat predikat tokoh masyarakat berbahasa Indonesia lisan terbaik oleh Kongres Bahasa Indonesia VIII bersama Susilo Bambang Yudhoyono, Nurcholis Madjid, dan Eep Syaifulloh Patah.

Beberapa tokoh yang diwawancara memang saya akui bisa menjabarkan pandangan mereka tentang bahasa Indonesia dengan sangat baik. Mereka bisa membeberkan permasalahan yang terjadi pada bahasa Indonesia sekaligus menyodorkan solusi yang saya rasa masuk akal. Meski ada beberapa tokoh yang saya pikir tidak perlu diwawancara di sini. Jusuf Kalla adalah salah satunya, karena secara gamblang dia mengatakan tidak pernah membaca karya sastra selain tugas dari sekolah.

Sayangnya, buku yang memaparkan pandangan tokoh masyarakat tentang bahasa nasional ini dipenuhi dengan kesalahan ketik dan kalimat. Kata bisa acap kali tertulis bias, atau kalimat tak efektif seperti “mantan gubernur pertama” (kalau gubernur pertama pasti sudah mantan), atau kata “dikarenakan” (karena bukan kata kerja, jadi tidak boleh diberi imbuhan), bisa saya temukan hampir di setiap halaman. (lits)

View all my reviews

Leave a comment

Filed under Uncategorized

Leave a comment